Pernah suatu ketika, seorang sahabat mendekati saya tika jiwa berkecamuk dengan cabaran-cabaran yang mendatang. Tampak jelas saya seolah-olah tidak mampu untuk berdiri teguh merentas hari-hari yang sarat dengan isu dan masalah. Sahabat itu, dengan galak matanya dan senyuman manisnya menyapaku dengan tenang. Ketenangan yang sudah agak asing bagi diri aku. Tidak banyak yang dilontarkan dari bibir sahabat itu. Namun, kata-katanya masih terngiang-ngiang di telinga, terpasak di minda dan mengakar di sanubari ini.
Saya masih ingat persoalan yang dilemparkan olehnya. Persoalan yang diajukannya membuatkan saya terpaku tanpa kata. Ia bertanya, apakah kekuatan yang mendorong kamu untuk beramal dan menyampaikan risalah Allah? Saya tersentak.
What kind of question is this? Where is he going with the question? Is this a trick question? All kinds of queries raced through my mind, but I was still mum with no answer.
“Faham ke tak soalannya?” dia bertanya lagi sambil mengukir senyuman.
Saya mengangguk, meskipun hati masih belum 100% pasti dengan pemahaman sendiri.
“Erm, rasanya, banyak juga punca-punca kekuatan saya. Saya sentiasa terdorong oleh sahabat-sahabat lain yang sama-sama beramal untuk Allah SWT. Ramai sahabat-sahabat yang sentiasa memberi teguran, peringatan dan mengajak meningkatkan amalan-amalan seharian. Kemudian, tarbiyyah yang saya lalui juga banyak membantu membina zatiyah dalam diri. Tarbiyyah itu memberi kesedaran yang besar tentang tanggungjawab sebenar seorang muslim. Rasanya, fitrah manusia itu sendiri juga mainkan peranan. Kita sebagai manusia sememangnya diciptakan untuk memakmurkan bumi Allah berlandaskan hukum-hukum Allah, semestinya elemen fitrah juga menolak diri saya untuk melaksanakan tanggungjawab sebagai hambaNya.” Itulah celoteh saya untuk meyakinkan sahabat itu.
Sekali lagi, dia tersenyum. Saya senyum kembali sambil memandang tepat ke matanya. Dia pun bersuara, “Okay, so, you mentioned your friends, tarbiyyah and fitrah.” Saya mengangguk tanda setuju.
Dia menambah, “Di mana Allah dalam kekuatan kamu?”
Astaghfirullahalazim. Saya tertampar dengan persoalan itu. Tamparan itu masih terasa sehingga kini. Persoalan itu membuka mata dan minda saya yang masih cetek ketika itu. Di mana Allah? Apa peranan Allah dalam kekuatan dan zatiyah diri saya? Mengapa saya tidak sebutkan Allah sebagai kekuatan saya, sedangkan Allah sepatutnya menjadi tunjang utama kekuatan seorang daie.
Sejujurnya, saya sungguh kecewa dengan diri sendiri. Saya sedar, akhlak manusia itu terpancar pada pertuturan dan perbuatannya yang paling spontan. I was disappointed with the fact that I did not spontaneously mention Allah as my core strength. I listed other factors like the constant reminders from my peers, the upbringing and knowledge gained through education and tarbiyyah, as well as the nature of humankind as Allah’s slave. But, I failed to mention Allah per se.
Sahabat saya mendekati saya, lalu duduk sebelah-menyebelah. He wisely said,
“Selayaknya, Allah perlu menjadi sebab utama kita berada di sini. Allah perlu menjadi kekuatan utama kita dalam menghadapi hari-hari sebagai pembawa risalahNya. Memang tak dinafikan, kawan-kawan kita sangat banyak membantu kita, mereka banyak mengingatkan kita tentang tanggungjawab dan amalan yang perlu dibuat. Sahabat-sahabat kita juga yang selalu ada bersama kita dalam keadaan susah dan senang. Peranan mereka besar dalam memastikan kita terus tsabat dalam menjalankan amanah Allah. Namun begitu, hakikatnya semua datang dari Allah SWT.”
“Kita sering lupa hakikat di sebalik yang terlihat oleh mata kasar. Kita nampak sahabat-sahabat kita bersama kita. Kita nampak mereka ketawa dan menangis bersama. Makan, masak, riadah dan bersiar-siar bersama-sama. Tapi kadang-kadang kita terlepas pandang bahawa di sebalik itu semua, Allah yang merancang segalanya. Mungkin kalau kita duduk sendirian, muhasabah di waktu malam, kita tidak lupa bahawa Allah adalah perancang utama yang mengizinkan segalanya berlaku. However, in the spur of the moment, when we are around other people, having fun or feeling sad, we tend to forget that fact. We usually see and acknowledge things that we can physically visualize, failing to acknowledge the main superior in our lives, which is Allah.”
Saya masih lagi rasa malu dengan jawapanku tadi. Malu pada diri sendiri, malu pada sahabatku itu dan paling penting, malu pada Allah. Seorang daie hendaknya, meletakkan Allah di puncak segala-galanya. Apabila saya merenung kembali peristiwa ini, banyak pengajaran boleh saya perolehi.
In my opinion, it all relates back to the initial intention that we had when we first told ourselves, “we want to be a better muslim, we want to spread Islam, we want to be a daie.” Why? What was the reason behind all that wants? Is it truthfully and honestly because of Allah, or was there another agenda lurking beneath that beautiful action? If we truly did it because of Allah, with He’s will, we won’t forget Allah throughout the course of our life as a Muslim. However, if we had other intentions, don’t fret. We still have time to repent and renew our intentions. Allah is Most Merciful and surely He loves His slaves who are constantly trying to improve and become better Muslims.
Jika kita meletakkan kekuatan kita pada sahabat-sahabat kita, apa agaknya akan berlaku jika kita tidak lagi bersama-sama sahabat kita? Apakah kita masih akan bertahan dan menjalankan amal dakwah dan menyebarkan risalah agung ini? Apakah kita masih mampu mengekalkan amalan-amalan Islami yang saban hari kita lakukan?
Maka, kekuatan kita perlu diletakkan pada Allah S.W.T. Allah yang menentukan segalanya. Dia yang memberi hidayah dan taufiq pada kita dan sahabat-sahabat kita. Kehadiran kita pada saat ini berada di bawah kekuasaan Allah semata-mata. Siapa kita untuk berserah kepada yang lain dariNya?
InsyaAllah, jika kita terus-menerus meletakkan Allah sebagai kekuatan utama, tak kira di mana kita berada, berseorangan atau beramai-ramai, di Malaysia atau di luar negara, kaya atau miskin, susah atau senang, sihat atau sakit; kita akan sentiasa mengingati amanah dan tanggungjawab kita sebagai Muslim sebenar.
Thus, in this very moment, truthfully and honestly,
Di mana Allah dalam kekuatan kamu?
Saya masih ingat persoalan yang dilemparkan olehnya. Persoalan yang diajukannya membuatkan saya terpaku tanpa kata. Ia bertanya, apakah kekuatan yang mendorong kamu untuk beramal dan menyampaikan risalah Allah? Saya tersentak.
What kind of question is this? Where is he going with the question? Is this a trick question? All kinds of queries raced through my mind, but I was still mum with no answer.
“Faham ke tak soalannya?” dia bertanya lagi sambil mengukir senyuman.
Saya mengangguk, meskipun hati masih belum 100% pasti dengan pemahaman sendiri.
“Erm, rasanya, banyak juga punca-punca kekuatan saya. Saya sentiasa terdorong oleh sahabat-sahabat lain yang sama-sama beramal untuk Allah SWT. Ramai sahabat-sahabat yang sentiasa memberi teguran, peringatan dan mengajak meningkatkan amalan-amalan seharian. Kemudian, tarbiyyah yang saya lalui juga banyak membantu membina zatiyah dalam diri. Tarbiyyah itu memberi kesedaran yang besar tentang tanggungjawab sebenar seorang muslim. Rasanya, fitrah manusia itu sendiri juga mainkan peranan. Kita sebagai manusia sememangnya diciptakan untuk memakmurkan bumi Allah berlandaskan hukum-hukum Allah, semestinya elemen fitrah juga menolak diri saya untuk melaksanakan tanggungjawab sebagai hambaNya.” Itulah celoteh saya untuk meyakinkan sahabat itu.
Sekali lagi, dia tersenyum. Saya senyum kembali sambil memandang tepat ke matanya. Dia pun bersuara, “Okay, so, you mentioned your friends, tarbiyyah and fitrah.” Saya mengangguk tanda setuju.
Dia menambah, “Di mana Allah dalam kekuatan kamu?”
Astaghfirullahalazim. Saya tertampar dengan persoalan itu. Tamparan itu masih terasa sehingga kini. Persoalan itu membuka mata dan minda saya yang masih cetek ketika itu. Di mana Allah? Apa peranan Allah dalam kekuatan dan zatiyah diri saya? Mengapa saya tidak sebutkan Allah sebagai kekuatan saya, sedangkan Allah sepatutnya menjadi tunjang utama kekuatan seorang daie.
Sejujurnya, saya sungguh kecewa dengan diri sendiri. Saya sedar, akhlak manusia itu terpancar pada pertuturan dan perbuatannya yang paling spontan. I was disappointed with the fact that I did not spontaneously mention Allah as my core strength. I listed other factors like the constant reminders from my peers, the upbringing and knowledge gained through education and tarbiyyah, as well as the nature of humankind as Allah’s slave. But, I failed to mention Allah per se.
Sahabat saya mendekati saya, lalu duduk sebelah-menyebelah. He wisely said,
“Selayaknya, Allah perlu menjadi sebab utama kita berada di sini. Allah perlu menjadi kekuatan utama kita dalam menghadapi hari-hari sebagai pembawa risalahNya. Memang tak dinafikan, kawan-kawan kita sangat banyak membantu kita, mereka banyak mengingatkan kita tentang tanggungjawab dan amalan yang perlu dibuat. Sahabat-sahabat kita juga yang selalu ada bersama kita dalam keadaan susah dan senang. Peranan mereka besar dalam memastikan kita terus tsabat dalam menjalankan amanah Allah. Namun begitu, hakikatnya semua datang dari Allah SWT.”
Saya masih lagi rasa malu dengan jawapanku tadi. Malu pada diri sendiri, malu pada sahabatku itu dan paling penting, malu pada Allah. Seorang daie hendaknya, meletakkan Allah di puncak segala-galanya. Apabila saya merenung kembali peristiwa ini, banyak pengajaran boleh saya perolehi.
In my opinion, it all relates back to the initial intention that we had when we first told ourselves, “we want to be a better muslim, we want to spread Islam, we want to be a daie.” Why? What was the reason behind all that wants? Is it truthfully and honestly because of Allah, or was there another agenda lurking beneath that beautiful action? If we truly did it because of Allah, with He’s will, we won’t forget Allah throughout the course of our life as a Muslim. However, if we had other intentions, don’t fret. We still have time to repent and renew our intentions. Allah is Most Merciful and surely He loves His slaves who are constantly trying to improve and become better Muslims.
Jika kita meletakkan kekuatan kita pada sahabat-sahabat kita, apa agaknya akan berlaku jika kita tidak lagi bersama-sama sahabat kita? Apakah kita masih akan bertahan dan menjalankan amal dakwah dan menyebarkan risalah agung ini? Apakah kita masih mampu mengekalkan amalan-amalan Islami yang saban hari kita lakukan?
Maka, kekuatan kita perlu diletakkan pada Allah S.W.T. Allah yang menentukan segalanya. Dia yang memberi hidayah dan taufiq pada kita dan sahabat-sahabat kita. Kehadiran kita pada saat ini berada di bawah kekuasaan Allah semata-mata. Siapa kita untuk berserah kepada yang lain dariNya?
InsyaAllah, jika kita terus-menerus meletakkan Allah sebagai kekuatan utama, tak kira di mana kita berada, berseorangan atau beramai-ramai, di Malaysia atau di luar negara, kaya atau miskin, susah atau senang, sihat atau sakit; kita akan sentiasa mengingati amanah dan tanggungjawab kita sebagai Muslim sebenar.
Thus, in this very moment, truthfully and honestly,
Di mana Allah dalam kekuatan kamu?
=================================================
Source : http://bahantarbiyyah.info
0 comments:
Post a Comment